Pendidikan
merupakan salah satu faktor yang paling mendasar dalam siklus kehidupan manusia
sejak mulai lahir hingga akhir hayat min al-mahdi ila al-lahdi atau yang
dikenal dengan long life edocation. Secara konsep, pendidikan merupakan
suatu upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mencerdaskan
kehidupan manusia dan mengembangkan seutuhnya agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan alam semesta, berahklak mulia, berwawasan tinggi,
kreatif dan mandiri.
Keterbatasan
ekonomi serta mahalnya biaya pendidikan merupakan penyebab putus sekolah. Begitu
juga anak-anak yang ditinggal mati orang tuanya (yatim). Tendensinya tidak lain
yaitu materi yang tidak memungkinkan, yang hal itu merupakan sarana wajib untuk
dipenuhi dalam sektor pendidkan. Namun permesalahan itu sudah mulai terjawab
dengan adanya kepedulian pemerintah sebagai penanggung jawab atas kemajuan dan
kecerdasan bangsanya melalui BSM dan mendirikan lembaga kesejahteraan sosial
anak (LKSA) dan lain sebagainya. Lihat saja, pada tahun ini pemerintah rela
menghabiskan anggaran sebesar 368,899 triliun atau hampir 20 persen dari
anggaran belanja Negara untuk dialokasikan terhadap pendidikan. Langkah
tersebut cukuplah untuk diapresiasi, karena amanat yang diembankan kepada
pemerintah dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 telah berusaha direalisasikan
secara maksimal.
Namun
permasalahan demi permasalahan pun selalu muncul dalam tiap tahunnya, mulai
dari masalah biaya pendidikan sampai sarana perasarana yang tidak memadai telah
dikeluhkan kepada pemerintah dan pemerintah pun telah berusaha
menyelesaikannya. Namun perlu disadari bersama, bahwa dalam ranah pendidikan, sebagaimana
uraian di atas pemerintah memang mempunyai peranan penting, hanya saja pemerintah sebatas fasilitator dan
perlu adanya kesadaran tersendiri dari tiap individu masyarakat akan pentingnya
berpependidikan. Mengapa demikian! Karena secara teoritis orang tualah pertama
kali yang wajib memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, bukan pemerintan.
Lalu
bagaimana jika permasalahan itu muncul dari orang tua yang sudah tidak
memperhatikan pendidikan anaknya, baik dikarenakan keterbatasan ekonomi maupun
karena sibuk dengan urusan pribadinya!. Padahal pemerintah telah memfasilitasinya.
Apa jadinya jika anak dari seorang konglomerat misalnya buta yang namanya
pendidikan. Jika itu yang terjadi, maka benarlah apa yang dikatan Nasih Ulwan
seorang pakar pendidikan “Tidaklah disebut anak yatim, dikala kedua orang
tuanya meninggal dunia dan anak hidup dalam kehinaan.Akan tetapi yang dikatakan
yatim adalah ketika sang ibu menelantarkan dan ayah selalu bepergian dalam
waktu senggangnya dan selalu sibuk akan urusannya sendiri”
Maka idealnya pemerintah sebagai ulul amri tidak
hanya memberikan fasilitas, namun juga harus menyadarkan dan mewanti-wanti
–bahkan bila perlu tidak hanya sekedar mengancam– para orang tua yang sengaja
tidak menyekolahkan anak-anaknya, melainkan adanya tindak pidana yang tegas kepada
mereka. Kitapun demikian, hendaknya kita tidak hanya menuntut pemerintah,
meminta pemerintah bertanggung jawab dan lain semacamya yang berupa tuduhan
negatif. Maka kita yang berposisi sebagai guru hendaknya berusaha profesioanal
dalam mendidik. Kita yang berposisi sebagai orang tua haruslah sadar, bahwa
kita dituntut untuk tidak menelantarkan anak. Kita sebagai anak juga harus
sadar, bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan menuju masa depan. Dan kita
yang beposisi sebagai pemerintah harus pula sadar, bahwa kita adalah bagian dari
penentu masa depan bangsa. Sehingga ketika semuanya sesuai amanah, maka akan
tumbuh generasi yang bisa diharapkan di hari esok, karena semuanya bersifat
simbiosis mutualisme.(Syahrul Anam, S.Pd.I
0 komentar:
Posting Komentar