Selamat Datang di Situs Resmi Pondok Pesantren Al-Kholil Berau (www.alkholilberau.com) Jl. Raya Bangun Rt.01 Kec. Sambaliung Kab. Berau Kaltim Kode Pos 77371 Telp 085246509704
Home » » Historis Munculnya Ilmu Nahu & Langkah-Langkah Belajar Nahu

Historis Munculnya Ilmu Nahu & Langkah-Langkah Belajar Nahu

Written By AL-KHOLIL on Selasa, 18 November 2014 | 14.24.00

Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau informasi.
Lalu, bagaimana sebenarnya awal mula terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan dengan istilah nahwu?. Simak artikel berikut.
Pada zaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafadz-lafadz yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya.

Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang. Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.
Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib, KW.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata,
مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian sang ayah mengatakan,
نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ . “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”.
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan,
اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”.
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah,
مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”. Bukan, مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…
****
Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali,
اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ “Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.





LANGKAH-LANGKAH BELAJAR BACAKITAB DENGAN NAHU
Hal-hal yang harus disampaikan terlebih dahulu:
Ilmu nahu adalah ilmu yang mempelajri tentang perubahan I’rob (harkat) akhir kalimat.
Namun perlu diketahui bahwa akhir kalimat ada dua kemungkinan (1) berubah/mu’rob (2) tidak berubah/mabni.
Maka untuk mengetahui kapan akhir kalimat itu berubah dan kapan tidak berubah hendaknya kita harus benar-benar mengetahui tentang:
1.       Apa itu kalimat?
2.       Ada berapa kalimat?
3.       Apa tanda dari masing-masing kalimat?
4.       Apa itu i’rob?
5.       Ada berapa i’rob?
6.       Apa saja tanda I’rob?
7.       Kalimat apa saja yang dii’rob?
8.       Apa saja kalimat yang tidak dii’rob?
Setelah menguasai tentang kalimat dan I’robnya, maka langkah berikutnya ialah membahas kalimat isim dan dan cara menentukan I’robnya. Maka terlebih dahulu member tahu bahwa akhir kalimat isim (selain yang mabni) ada 3 kemungkinan (1) Rofa’ (2) Nasob (3) Jar.Maka yang harus diketahui adalah:
1.       Kapan Isim itu rofa’?
2.       Kapan Isim itu nasob?
3.       Kapan Isim itu Jar?

Setelah itu pindah pada kalimat fi’il dan pembagiannya sekaligus cara membaca akhir kalimat fi’il, namun perlu diketahui bahwa akhir kalimat fi’il itu ada dua kemungkinan mu’rob dan mabni (sama seperti Isim, namun lebih banyak yang mabni) dengan demikian maka yang harus dipelajari
1.       Ada berapa kalimat fi’il?
2.       Fi’il apa yang mu’rob?
3.       Fi’il apa yang mabni?
4.       Mabninya dengan apa saja?
Yang terakhir tinggal mengetahui macam-macam kalimat huruf dan menghafalkannya dan tidak perlu membahas akhir kalimat huruf sebab dapat dipastikan semua akhir kalimat huruf hukumnya mabni.
 

Share this article :

0 komentar:

KAJIAN

BAHSTUL MASA'IL

INFO DONATUR TAHAP III

KEGIATAN MADRASAH

PRESTASI

INFO DONATUR

 
Support : Creating Website | Syahrul Anam, S.Pd.I | Mas Template
Proudly powered by Situs Resmi Al-Kholil
Copyright © 2011. Pondok Pesantren Al-Kholil Berau Online - All Rights Reserved